bin syarief authority

Assalamu'alaikum... ahlan wa sahlan, welcome to my blog. Tempat ini hanya sekedar wadah bagi saya berbagi hidup di dunia maya. Itu saja.

NGALAP BERKAH




Bismillah walhamdulillah washsholatu wassalamu ‘ala rasulillah wa ‘ala alihi waman walah.
‘Ngalap berkah’ merupakan sebuah fenomena klasik yang memang ada sejak dulu. Dahulu ada orang mengira bahwa bebatuan, pepohonan, kuburan dan lainnya bisa memberikan berkah. Demikian pula sekarang, diyakini adanya berkah pada kuburan orang, benda, waktu dan tempat tertentu. Dahulu ada orang yang menggantungkan senjata pada pepohonan yang diagungkan dengan harapan berkahnya berpindah kepada senjata tersebut , maka di zaman serba canggih sekarang ini pun masih ada yang meniru demikian dengan mengusap-usap atau menempelkan sesuatu yang dimiliki kepada sesuatu diagungkan dengan keyakinan berkahnya menempel dan berpindah. Dahulu ada orang yang mengunjungi kuburan Laata (orang sholeh di masa sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan melakukan ritual kuburan di sekitarnya untuk mengharap berkah darinya, maka sekarang pun banyak orang yang melakukan hal seperti ini. Allah ‘Azza wa Jalla mengabadikan nama orang sholeh yang disembah setelah kematiannya ini dalam kitab-Nya yang artinya: “Maka apakah patut kamu (wahai orang musyrik) menganggap Laata dan ‘Uzza,@ dan Manat yang ketiga yang kemudian (sebagai anak perempuan Allah)?”.(QS.An-Najm:19-20). Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menyebutkan perkataan Ibnu Abbas, Mujahid dan Rabi’ bin Anas dalam menafsirkan ayat ke-19 ini: “Bahwa dahulu (Laata) adalah seseorang di masa Jahiliyah yang selalu menyediakan sawiq (sejenis makanan yang diolah melalui proses pengadonan) untuk jemaah haji. Tatkala ia sudah meninggal, orang-orangpun beri’tikaf di sekitar kuburannya (untuk mengharapkan berkahnya), lalu (akhirnya) merekapun menyembahnya.”
Adanya fenomena ini semenjak dulu dan demikian pula sekarang, apakah lantas menjadikan pembenaran dan pembolehan terhadap hal ini? Bagaimana ‘kaca mata’ Syari’at agama ini menilai fenomena ini? Berikut penjabarannya.

Makna Berkah
Berkah atau berkat berasal dari bahasa Arab yaitu ‘barokah’. Secara bahasa bermakna: Kebaikan yang banyak dan tetap. Sementara menurut Syar’i didefinisikan sebagai berikut: Menetapnya kebaikan ilahi pada sesuatu. Makna ini berdasarkan firman Allah Azza Wa Jalla yang artinya :
“Dan kalau sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami akan limpahkan kepada mereka berkah dari langi dan bumi.” (QS. Al-A’rof:96)
Meminta dan mengharap berkah atau yang disebut dengan ‘ngalap berkah’ diungkapkan dalam bahasa Arab dengan istilah ‘Tabarruk’. Seseorang yang meyakini adanya berkah pada sesuatu, lalu meminta dan mengharapnya, maka dia telah bertabarruk kepada sesuatu tersebut.

Ragam Tabarruk
Para ulama membagi tabarruk menjadi dua macam, yakni:
1. Tabarruk Syar’i ( Ngalap berkah yang dibolehkan).
Maksudnya adalah meminta dan mengharap berkah, kebaikan, tambahan, pahala dan segala sesuatu yang dibutuhkan seorang hamba dalam urusan agama dan dunianya dengan sebab perantaraan sesuatu yang diberkahi oleh Allah Ta'ala berupa benda, tempat, waktu dan lainnya. Penetapan adanya berkah pada sesuatu serta tatacara memperoleh berkah tersebut harus berdasarkan dalil syar’i yaitu wahyu Al-Quran dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Meminta berkah dibenarkan dalam agama kita, apabila terpenuhi syarat-syarat berikut ini:
a. Orang yang meminta dan mengharap berkah tersebut adalah seorang muslim yang mengikuti petunjuk Allah Ta'ala dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
b. Meyakini bahwa Pemberi berkah tersebut hanyalah Allah semata. Ini berdasarkan hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,”Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan. Ketika itu air tersisa sedikit, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta sisa air tadi maka merekapun (para shahabat) membawa air yang sedikit itu dalam sebuah bejana. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan beliau ke dalam air tersebut sembari mengucapkan:”Mari menuju air yang diberkahi dan berkah hanya berasal dari Allah Ta'ala.”. Ibnu Mas’ud berkata,”Sungguh aku lihat air itu memancar dari jari-jemari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”(HR. Bukhari).
c. Adanya dalil dari Al-Quran atau hadits yang menjelaskan bahwa sesuatu tersebut diberkahi, kemudian tidak boleh diyakini bahwa yang menciptakan dan memberikan berkah adalah sesuatu tersebut namun ia hanya sebagai sebab semata.
d. Mengambil atau mendapatkan berkah tersebut sesuai dengan tatacara yang dijelaskan menurut Al-Quran dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
e. Meyakini bahwa tidak ada seorangpun -meskipun seorang wali atau orang sholeh- yang boleh diharapkan adanya berkah dari anggota tubuhnya, baik itu segala sesuatu yang berasal dari dirinya maupun bekas pemakaiannya selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana para shahabat radhiyallahu ‘anhum mengharapkan berkah dari sisa wudhu’ dan potongan rambut beliau. Keyakinan ini disebabkan beberapa alasan:
- Tidak layaknya seseorang selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dibandingkan atau disamakan dengan beliau dalam hal keutamaan dan berkah.
- Para shahabat radhiyallahu ‘anhum tidak pernah mengharap berkah dari selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa hidup beliau atau setelah wafat beliau padahal mereka adalah orang-orang sholeh. Bahkan diantara mereka ada yang dikabarkan termasuk penghuni surga ketika mereka masih hidup, namun mereka tidak meminta dan mengharap berkah kepada sesama mereka.
- Tidak adanya jaminan dari Allah dan rasul-Nya terhadap kesalehan seseorang. Karena kesalehan mencakup amal hati yang tidak ada seorangpun yang mengetahuinya melainkan Allah ‘Azza wa Jalla semata.
- Ngalap berkah kepada seseorang sangat mungkin menimbulkan perasaan ujub, angkuh, riya dan sombong pada diri orang tersebut.

Sesuatu yang dinyatakan oleh dalil Al-Quran dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sesuatu yang diberkahi dan kita dibenarkan untuk bertabaruk dengannya adakalanya berupa tempat, negeri, waktu, ucapan, makanan/minuman maupun keadaan.
Tempat yang diberkahi diantaranya adalah Masjidil Haram (termasuk ka’bah), Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha. Cara mendapatkan berkah dari tempat-tempat yang diberkahi ini adalah dengan sholat dan berdzikir di dalamnya bukan dengan mengusap-usap bangunannya.
Adapun diantara negeri yang diberkahi adalah Mekah, Madinah dan Syam yang berkahnya berupa adanya rasa aman dan rizki yang melimpah. Tatacara meraih berkahnya adalah dengan tinggal menetap disana bukan dengan mengambil tanah atau bebatuannya.
Waktu-waktu yang penuh berkah diantaranya adalah bulan Ramadhan, lailatul qodar, sepertiga akhir malam, hari raya qurban, hari Jumat, Senin dan Kamis. Caranya dengan melaksanakan ibadah-ibadah yang disyari’atkan sesuai masing-masing waktu tersebut.
Diantara ucapan yang dapat diperoleh berkah dengannya adalah ucapan nasehat, dakwah, istighfar, do’a dan dzikir.
Termasuk keadaan yang diberkahi adalah makan berjama’ah (bersama). Sedangkan jenis makanan atau minuman yang diberkahi adalah madu, air zamzam, zaitun, dan habbatussauda (biji jintan).
Al-Quran juga mengandung berkah, namun caranya adalah dengan membacanya, merenungi dan menghayati kandungan maknanya lalu mengamalkannya. Bukan dengan menggantungkannya atau memajangnya.

2. Tabarruk (Ngalap berkah) Terlarang.
Yaitu mengharap dan meminta berkah dari segala sesuatu yang tidak dijelaskan oleh dalil Al-Quran dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sesuatu yang diberkahi. Tabarruk jenis ini juga mencakup tabarruk pada tempat, waktu, dan orang-orang sholeh (baik anggota tubuhnya maupun sisa atau bekas yang digunakannya), serta benda-benda lainnya yang tidak ditetapkan oleh dalil Al-Quran dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sesuatu yang diberkahi. Seperti ngalap berkah di kuburan walaupun penghuni kuburnya seorang nabi atau wali, maka ini terlarang karena bisa menghantarkan kepada kesyirikan sebagaimana yang terjadi pada kisah Laata. Demikian pula terlarang ngalap berkah di gua Hira dan gua Tsur.
Adapun mengusap atau mencium Hajar aswad, bukan disebabkan adanya berkah pada batu tersebut sebagaimana yang disangka orang awam namun itu hanya sebagai bentuk mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam thowaf. Ini berdasarkan hadits Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata di hadapan Hajar aswad: “Demi Allah, sungguh aku tahu bahwa engkau hanyalah sebuah batu yang tidak bisa membuat celaka dan juga tidak dapat memberi kemanfaatan. Kalaulah aku tidak melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, pasti aku tidak akan menciummu.” (HR. Bukhari)

Hukum Tabarruk
1. Apabila meyakini bahwa Pemberi berkah tersebut selain Allah Ta'ala walaupun bertabarruk dengan sesuatu yang syar’i maka hukumnya Syirik Akbar.
2. Jika meyakini bahwa Allah yang memberi berkah namun meyakini adanya berkah pada sesuatu sebab yang tidak syar’i (yang tidak ditetapkan oleh dalil Al-Quran dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sesuatu yang diberkahi) maka ini termasuk Syirik Ashghar yang dapat menghantarkan kepada syirik akbar.
Sebuah hadits yang menunjukkan Tabarruk yang syirik adalah riwayat dari shahabat Abu Waqid Al-Laitsi Al-Harits bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia mengisahkan: ”Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk berperang) menuju Hunain sementara kami baru saja masuk Islam. Orang-orang musyrik (pihak musuh) memiliki sebuah pohon Sidr (bidara) yang besar. Mereka biasa duduk-duduk di sekitarnya dan menggantungkan senjata-senjata mereka (untuk mendapatkan berkah). (Pohon ini) dikenal dengan nama Dzatu Anwath (Tempat bergantung). Lalu kami melewati sebuah pohon besar kemudian berkata: ”Wahai Rasulullah, buatkan untuk kami Dzatu Anwath seperti Dzatu Anwath milik mereka. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda: “Allahu akbar. Inilah kebiasaan turun temurun (orang-orang dahulu). Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian mengatakan seperti perkataan Bani Israil kepada Musa ‘Alaihissalam :“Buatkan kami tuhan seperti tuhan-tuhan milik mereka”. Ia (Musa) berkata,”Sesungguhnya kalian kaum yang bodoh”. Sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan (buruk) orang-orang sebelum kalian.” (HR. Tirmidzi).
Akhirnya, kita memohon kepada Allah Subhana wa Ta'ala untuk melimpahkan barokah-Nya kepada kita di mana saja kita berada dan menyelamatkan kita dari jurang-jurang kesyirikan dan kekufuran hingga akhir hidup kita. Wallahu Muwaffiq.


Akhunal Fadhil Abul ‘Aliyah

0 komentar:

Posting Komentar