bin syarief authority

Assalamu'alaikum... ahlan wa sahlan, welcome to my blog. Tempat ini hanya sekedar wadah bagi saya berbagi hidup di dunia maya. Itu saja.

Ciri-Ciri Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah





Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd



Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah memiliki ciri-ciri khusus. Adapun ciri-ciri itu dapat dijelaskan sebagai berikut.

[1] Sumber pengambilannya bersih dan akurat. Hal ini karena aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah berdasarkan Kitab dan Sunnah serta Ijma' para Salafush Shalih, yang jauh dari keruhnya hawa nafsu dan syubhat.

[2] Ia adalah aqidah yang berlandaskan penyerahan total kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebab aqidah ini adalah iman kepada sesuatu yang ghaib. Karena itu, beriman kepada yang ghaib merupakan sifat orang-orang mukmin yang paling agung, sehingga Allah memuji mereka : " Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya ; petunjuk bagi orang yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib". [Al-Baqarah : 2-3]. Hal itu karena akal tidak mampu mengetahui hal yang ghaib, juga tidak dapat berdiri sendiri dalam memahami syari'at, karena akal itu lemah dan terbatas. Sebagaimana pendengaran, penglihatan dan kekuatan manusia itu terbatas, demikian pula dengan akalnya. Maka beriman kepada yang ghaib dan menyerah sepenuhnya kepada Allah adalah sesuatu yang niscaya.

[3] Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah aqidah yang sejalan dengan fithrah dan logika yang benar, bebas dari syahwat dan syubhat.

[4] Sanadnya bersambung kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sahabat, tabi'in dan para imam, baik dalam ucapan, perbuatan maupun keyakinan. Ciri ini banyak diakui oleh para penentangnya. Dan memang -Alhamdulillah- tidak ada suatu prinsip pun dari aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang tidak memiliki dasar Al-Qur'an dan As-Sunnah atau dari Salafus Shalih. Ini tentu berbeda dengan aqidah-aqidah bid'ah lainnya.

[5] Ia adalah aqidah yang mudah dan terang, seterang matahari di siang bolong. Tidak ada yang rancu, masih samar-samar maupun yang sulit. Semua lafazh-lafazh dan maknanya jelas, bisa dipahami oleh orang alim maupun awam, anak kecil maupun dewasa. Ia adalah aqidah yang berdasar kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sedangkan dalil-dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah laksana makanan yang bermanfaat bagi segenap manusia. Bahkan seperti air yang bermanfaat bagi bayi yang menyusu, anak-anak, orang kuat maupun lemah.

[6] Selamat dari kekacauan, kontradiksi dan kerancuan. Betapa tidak, ia adalah bersumber kepada wahyu yang tak mungkin datang kepadanya kebatilan, dari manapun datangnya. Dan kebenaran tidak mungkin kacau, rancu dan mengandung kontradiksi. Sebaliknya, sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Allah berfirman : "Kalau sekiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya" [An-Nisaa : 82]

[7] Mungkin di dalamnya terdapat sesuatu yang mengandung perdebatan, tetapi tidak mungkin mengandung sesuatu yang mustahil. Dalam aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah ada hal-hal yang di luar jangkauan akal, atau tidak mampu dipahami. Seperti seluruh masalah ghaib, adzab dan nikmat kubur, shirath, haudh (telaga), surga dan neraka, serta kaifiyah (penggambaran) sifat-sifat Allah. Akal manusia tidak mampu memahami atau mencapai berbagai persoalan di atas, tetapi tidak menganggapnya mustahil. Sebaliknya ia menyerah, patuh dan tunduk kepadanya. Sebab semuanya datang dari wahyu, yang tidak mungkin berdasarkan hawa nafsu.

[8] Ia adalah aqidah yang universal, lengkap dan sesuai dengan setiap zaman, tempat, keadaan dan umat. Bahkan kehidupan ini tidak akan lurus kecuali dengannya.

[9] Ia adalah aqidah yang stabil, tetap dan kekal. Ia tetap teguh menghadapi berbagai benturan yang terus menerus dilancarkan musuh-musuh Islam, baik dari Yahudi, Nashrani, Majusi maupun yang lainnya. Ia adalah akidah yang kekal hingga hari kiamat. Ia akan dijaga oleh Allah sepanjang generasi. Tak akan terjadi penyimpangan, penambahan, pengurangan atau penggantian. Betapa tidak, karena Allah-lah yang menjamin penjagaan dan kekalannya. Ia tidak menyerahkan penjagaan itu kepada seorangpun dari mahluk-Nya, Alah berfirman : "Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an dan Kamilah yang akan menjaganya". [Al-Hijr : 9]

[10] Ia adalah sebab adanya pertolongan, kemenangan dan keteguhan. Hal itu karena ia adalah aqidah yang benar. Maka orang yang berpegang teguh kepadanya akan menang, berhasil dan ditolong. Hal itu sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang membela kebenaran, yang tidak akan membahayakan mereka orang yang merendahkan mereka sampai datangnya keputusan Allah, dan mereka dalam keadaan demikian". [Hadits Riwayat Muslim 3/1524]. Maka barangsiapa mengambil aqidah tersebut, niscaya Allah akan memuliakannya dan barangsiapa meninggalkannya, niscaya Allah akan menghinakannya. Hal itu telah diketahui oleh setiap orang yang membaca sejarah. Sehingga, ketika umat Islam menjauhi agamanya, terjadilah apa yang terjadi, sebagaimana yang menimpa Andalusia (Spanyol) dan yang lain.

[11] Ia mengangkat derajat para pengikutnya. Barangsiapa memegang teguh aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, semakin mendalami ilmu tentangnya, mengamalkan segala konsekwensinya, serta mendakwahkannya kepada manusia, niscaya Allah akan meninggikan derajatnya, meluaskan kemasyhuranya serta keutamaannya akan tersebar, baik sebagai pribadi maupun jama'ah. Hal itu karena akidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah akidah terbaik yang sesuai dengan segenap hati dan sebaik-baik yang diketahui akal. Ia menghasilkan berbagai pengetahuan yang bermanfaat dan akhlak yang tinggi.

[12] Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah kapal keselamatan. Maka barangsiapa berpegang teguh dengannya, niscaya akan selamat. Sebaliknya barangsiapa meninggalkannya, niscaya tenggelam dan binasa.

[13] Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah aqidah kasih sayang dan persatuan. Karena, tidaklah umat Islam itu bersatu dalam kalimat yang sama di berbagai masa dan tempat kecuali karena mereka berpegang teguh dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Sebaliknya, mereka akan berpecah belah dan saling berselisih pendapat jika menjauh darinya.

[14] Aqidah Ahlus Suannah wal Jama'ah adalah aqidah istimewa. Para pengikutnya adalah orang-orang istimewa, jalan mereka lurus dan tujuan-tujuannya jelas.

[15] Ia menjaga para pengikutnya dari bertindak tanpa petunjuk, mengacau dan sikap sia-sia. Manhaj mereka satu, prinsip mereka jelas, tetap dan tidak berubah. Karena itu para pengikutnya selamat dari mengikuti hawa nafsu, selamat dari bertindak tanpa petunjuk dalam soal wala' wal bara' (setia dan berlepas diri dari orang lain), kecintaan dan kebencian kepada orang lain. Sebaliknya, ia memberikan ukuran yang jelas, sehingga tidak akan keliru selamanya. Dengan demikian ia akan selamat dari perpecahan, bercerai berai dan kesia-siaan. Ia akan tahu kepada siapa harus membenci, dan mengetahui pula hak serta kewajibannya.

[16] Ia akan memberikan ketenangan jiwa dan pikiran kepada pengikutnya. Jiwa tidak akan gelisah, tidak akan ada kekacauan dalam pikirannya. Sebab akidah ini menghubungkan antara orang mukmin dengan Tuhannya. Ia akan rela Allah sebagai Tuhan, Pencipta, Hakim dan Pembuat Syari'at. Maka hatinya akan merasa aman dengan takdir-Nya, dadanya akan lapang atas ketentuan-ketentuan hukum-Nya, dan pikirannya akan jernih dengan mengetahui-Nya.

[17] Tujuan dan amal pengikut aqidah ini mejadi selamat. Yakni selamat dari penyimpangan dalam beribadah. Ia tidak akan menyembah selain Allah dan akan mengharapkan kepada selain-Nya.

[18] Ia akan mempengaruhi prilaku, akhlak dan mua'malah. Aqidah ini memerintahkan pengikutnya melakukan setiap kebaikan dan mencegah mereka melakukan setiap kejahatan. Ia memerintahkan keadilan dan berlaku lurus serta mencegah mereka dari kezhaliman dan penyimpangan.

[19] Ia mendorong setiap pengikutnya bersungguh-sungguh dan bersemangat dalam segala sesuatu.

[20] Ia membangkitkan jiwa mukmin agar mengagungkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sebab ia mengetahui bahwa Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah haq, petunjuk dan rahmat, karena itu mereka mengagungkan dan berpegang teguh pada keduanya.

[21] Ia menjamin kehidupan yang mulia bagi pengikutnya. Di bawah naungan aqidah ini akan terwujud keamanan dan hidup mulia. Sebab ia tegak atas dasar iman kepada Allah dan kewajiban beribadah kepada-Nya, dan tidak kepada yang lain. Dan hal itu -dengan tidak diragukan lagi- menjadi sebab keamanan, kebaikan dan kebahagiaan dunia-akhirat. Keamanan adalah sesuatu yang mengiringi iman. Maka, barangsiapa kehilangan iman, ia akan kehilangan keamanan. Allah berfirman : "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk". [Al-An'am : 82]. Jadi orang-orang yang bertakwa dan beriman adalah mereka yang memiliki kemanan yang sempurna dan petunjuk yang sempurna pula, baik di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya, orang-orang musyrik dan pelaku maksiat adalah orang-orang yang selalu ketakutan. Mereka senantiasa diancam dengan berbagai siksaan di setiap saat.

[22] Aqidah ini menghimpun semua kebutuhan ruh, hati dan jasmani.

[23] Mengakui akal, tetapi membatasi perannya. Ia adalah aqidah yang menghormati akal yang lurus dan tidak mengingkari perannya. Jadi, Islam justru tidak rela jika seorang muslim memadamkan cahaya akalnya, lalu hanya bertaklid buta dalam persoalan aqidah dan lainnya. Meskipun begitu, peran akal tetaplah terbatas.

[24] Mengakui perasaan manusia dan membimbingnya pada jalan yang benar. Perasaan adalah sesuatu yang alami pada diri manusia dan tak seorangpun manusia yang tidak memilikinya. Aqidah ini adalah aqidah yang dinamis, tidak kaku dan beku, ia mengaku adanya perasaan manusia serta menghormatinya, tetapi bukan berarti ia mengumbarnya. Sebaliknya ia meluruskan dan membimbingnya sehingga menjadi sarana perbaikan dan pembangunan, tidak sebagai alat perusak dan penghancur.

[25] Ia menjamin untuk memberi jalan keluar setiap persoalan, baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan atau persoalan lainnya.

Dengan aqidah ini, Allah telah menyatukan hati umat Islam yang berpecah belah, hawa nafsu yang bercerai berai, mencukupkan setelah kemiskinan, mengajari ilmu setelah kebodohan, memberi penglihatan setelah buta, memberi makan dari kelaparan dan memberi mereka keamanan dari ketakutan.


[Tasharrufan (saduran) dari Mukhtasar Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama'ah, Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Buletin AN NUR Thn. IV/No. 139/Jum'at I/R.Awal 1419H]

www.almanhaj.or.id

Kewajiban Merujuk Pada Ulama


Allah Ta’ala mengutus para rasul untuk menyampaikan syariatNya, agar menjadi hujjah bagi semua makhlukNya dan menutupnya dengan mengutus Muhammad Shallallahu’alahi Wasallam . Rasul yang menerangi manusia dan mengeluarkan mereka dari kegelapan, membawa ke jalan yang lurus. Demikian ketetapan Allah; menunjuki manusia, sehingga mendapatkan keridhaanNya. Allah berfirman,

قُلْنَا اهْبِطُوا مِنْهَا جَمِيعًا فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَن تَبِعَ هُدَايَ فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ

“Kami berfirman,”Turunlah kamu dari jannah itu! Kemudian jika datang petunjukKu kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjukKu, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.“” (QS. Al Baqarah:38).

Petunjuk disini bermakna: Rasul dan kitab suci.1 Petunjuk ini merupakan sumber kebahagian dan kejayaan umat dan dapat menghilangkan kebodohan dan membawa keselamatan.

Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak ada kebahagian dan keselamatan di hari akhirat, kecuali dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam. FirmanNya,

وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ ناَرًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابُُ مُّهِينُُ

“Barangsiapa yang mentaati Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam jannah yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api naar sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. An Nisa’: 14).”2

Kunci kebahagian dunia dan akhirat terletak karena ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Jiwa kita lebih membutuhkan mengenal ajaran dan taat kepada Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam dibandingkan dengan kebutuhan kepada makan dan minum. Sehingga sepatutnya kita semua mengenalnya dengan mempelajari Al Qur’an dan Sunnah, yang telah diriwayatkan dan dinukilkan para ulama sejak zaman Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam hingga sekarang dan sampai hari kiamat nanti. Karena tidak cukup dengan hanya mengandalkan akal dalam mengenal ajaran Beliau Shallallahu’alahi Wasallam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata,“Dengan diutusnya Muhammad Shallallahu’alahi Wasallam, jelaslah sudah kekafiran dari keimanan, keuntungan dari kerugian, petunjuk dari kesesatan, penyimpangan dari kelurusan, kekeliruan dari kebenaran, ahli syurga dari ahli neraka, orang yang bertakwa dari orang fajir dan mendahulukan jalan orang yang Allah karuniai nikmat dari kalangan para nabi, shidiqin, syuhada dan shalihin dari jalannya orang yang dimurkai Allah dan sesat.

Sehingga jiwa lebih membutuhkan untuk mengenal ajaran dan mengikuti Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam, daripada kebutuhannya kepada makan dan minum. Karena, jika tidak memiliki makan minum hanya terjadi kematian. Sedangkan jika tidak memiliki petunjuk, akan mendapatkan adzab. Maka sudah menjadi kewajiban bagi setiap orang menumpahkan seluruh kekuatan dan kemampuannya untuk mengenal ajaran beliau dan mentaatinya. Inilah jalan keselamatan dari adzab yang pedih dan jalan kebahagiaan ke surga. Caranya dengan mengambil riwayat dan penukilan (Al Qur’an dan As Sunnah, pen.). Karena tidak akan bisa mengenalnya, bila hanya mengandalkan akal. Sebagaimana cahaya mata, tidak dapat melihat kecuali dengan adanya cahaya yang di depannya. Demikian pula cahaya akal, tidak berfungsi kecuali jika ada cahaya terang risalah Allah Ta’ala . Oleh karena itu dakwah menyampaikan agama termasuk kewajiban Islam yang agung. Dan mengenal perintah Allah dan Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam wajib atas seluruh manusia.”3

Kesimpulannya, petunjuk Allah Ta’ala tidak dapat diketahui dan dicapai hanya dengan akal. Tetapi harus dilandasi dan dibangun dengan wahyu Allah Ta’ala. Itulah agama Islam yang telah Allah sempurnakan dan ridhai sebagai agama petunjuk yang sempurna. Allah Ta’ala berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu.” (QS Al Maidah:3).

Semua sepakat tentang kesempurnaan petunjuk Allah Ta’ala ini. Lantas bagaimana cara mengenalnya setelah Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam meninggal dunia? Dan para sahabat yang menyaksikan penerapan petunjuk tersebut telah meninggal juga?

ULAMA PENJAGA SYARI’AT ISLAM

Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menjaga Al Qur’an, sehingga tidak mungkin dirubah lafadz dan hurufnya. Musuh Islam sudah putus asa dalam merubah lafadz dan hurufnya. Akan tetapi setan dan para budaknya berusaha memasukkan penyimpangan dan pengkaburan makna kandungan AlQur’an. Sehingga penambahan dan pengurangan ini dapat menyesatkan sebagian manusia.

Mereka ingin memadamkan cahaya agama Allah Ta’ala dengan segala kemampuannya. Akan tetapi Allah Ta’ala akan selalu menyempurnakan cahayaNya dan menjaga agamaNya. FirmanNya,

يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

“Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci”(QS. Ash Shaf:8).

Untuk itulah Allah Ta’ala membangkitkan para ulama Islam untuk memerangi sethan dan para budaknya. Menjelaskan kebenaran dan kebatilan kepada umat manusia. Sehingga petunjuk dan ajaran Islam ini terjaga dan terpelihara hingga hari kiamat nanti.

Syaikhul Islam dengan gamblang menyatakan, ”Al Qur’an berbeda dengan yang lainnya -karena pengkhususan dari Allah; sebagai mu’jizat yang berbeda dengan perkataan manusia, sebagaimana firman-Nya

قُل لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ اْلإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَن يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْءَانِ لاَيَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْكَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا

“Katakanlah,”Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (QS Al Isra’:88)

dan diriwayatkan secara mutawatir, maka tidak ada seorangpun yang bersemangat merubah lafadz dan hurufnya; tetapi sethan bersemangat memasukkan pengkaburan dan penyimpangan dalam makna-maknanya dengan perubahan dan ta’wil. bersemangat memasukkan tambahan dan pengurangan yang dapat menyesatkan sebagian manusia dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu’alahi Wasallam . Lalu Allah membangkitkan para ulama pengkritik, ahli petunjuk dan kebenaran. Mereka memerangi tentara syethan dan membedakan antara kebenaran dan kebathilan, serta bersemangat menjaga sunnah dan makna-makna Al Qur’an dari tambahan dan pengurangan.”4

ULAMA MERUPAKAN NARA SUMBER DAN RUJUKAN DALAM MEMAHAMI AGAMA

Demikianlah Allah Ta’ala menciptakan para ulama sebagai pewaris Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam . Mengikuti jejak langkah Beliau dalam berdakwah kepada Allah Ta’ala . Mereka menjadi pemikul ilmu dan pengemban risalah Islam. Sehingga Allah Ta’ala menjaga ilmu dengannya, dan menghilangkan ilmu dengan mencabut mereka. Dijelaskan dalam Al Qur’an dan As Sunnah, diantaranya :

Firman Allah Ta’ala ,

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي اَدْعُوا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَآأَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah,”Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS Yusuf:108).

Imam Ibnul Qoyyim Rahimahullah menafsirkan ayat ini, setelah menyampaikan perbedaan ulama tentang kata (أَنَاوَمَنِ اتَّبَعَنِي) kembali kepada dhomir (kata ganti) dalam kata (أَدْعُوا) yang berarti berdakwah kepada Allah, seperti aku berdakwah, atau kembali kepada kata (عَلَى بَصِيرَةٍ) berarti pengikutnya yang memiliki bashirah (ilmu). Berkata (Imam Ibnul Qoyyim Rahimahullah), “Baik makna ayat,‘aku dan orang yang mengikuti di atas hujjah dan aku berdakwah kepada Allah,’ atau maknanya,‘aku berdakwah kepada Allah Ta’ala di atas hujjah (bashirah) sebagaimana yang diikutinya berbuat’, maka merekalah pengganti Rasul dan pewarisnya yang benar. para ulama yang melaksanakan ajaran Beliau Shallallahu’alahi Wasallam baik secara ilmu, amal, petunjuk, mengajar, sabar dan jihad. Merekalah para shidiqindan merekalah sebaik-baik pengikut para nabi. Tokoh dan imam mereka ialah Abu Bakar Radhiallahu’anhu.”5

(Imam Ibnul Qoyyim) berkata dalam kitab yang lain, “Ayat ini menunjukkan, bahwa pengikutnya adalah para ulama yang berdakwah kepada Allah Ta’ala di atas bashirah(hujjah). Barangsiapa tidak termasuk mereka, maka bukan termasuk pengikutnya secara hakikat dan sempurna, walaupun termasuk pengikutnya secara penisbatandan dakwah.”6

Jelaslah disini, bahwa pengikut Beliau Shallallahu’alahi Wasallam yang pasti yaitu para ulama, yang menjadi pewaris Beliau Shallallahu’alahi Wasallam. Sebagaiman telah ditegaskan dalam sabda Beliau Shallallahu’alahi Wasallam,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Barang siapa yang berjalan mencari ilmu, niscaya Allah Ta’ala jalankan ia dengannya salah satu jalan syurga. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayapnya, ridha kepada penuntut ilmu. Sesungguhnya seorang ulama akan dimintakan ampunan oleh makhluk yang ada di langit dan di bumi sampai ikan-ikan di air. Sesungguhnya keutamaan seorang ulama atas seorang ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang. Dan para ulama adalah pewaris para nabi dan para nabi tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham, mereka mewariskan ilmu. Maka, barangsiapa yang mengambil ilmu, berarti telah mengambil bagiannya dengan sempurna.”7

Dengan demikian, jelaslah kesalahan sebagian orang yang mengatakan bahwa para ulama8 bukanlah da’i. Atau melecehkannya dengan memberi perumpamaan para ulama, hanya memberi manfaat kepada orang yang ada di sekelilingnya; seperti sumur. Sedangkan para da’i9 dapat memberi manfaat kepada seluruh umat, karena mereka seperti awan yang berisi air hujan yang mendatangi manusia di rumah-rumah mereka dan memberikan hidayah di manapun berada.10

Ini adalah pelecehan terhadap para ulama sebagai pewaris para nabi. Dan para nabi adalah imam dalam dakwah. Maka, mestinya merekalah yang berhak dikatakan imam dakwah, karena mereka pewarisnya.

Bahkan Allah Ta’ala menjadikan mereka sebagai simbol ilmu dan mencabut ilmu dengan cara mewafatkannya, sebagaimana sabda Beliau Shallallahu’alahi Wasallam ,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekaligus dari para hamba, akan tetapi mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga jika tidak tersisa seorang ‘alimpun, maka manusia mengambil para tokoh yang bodoh, lalu bertanya (tentang urusan mereka) dan mereka menjawab tanpa ilmu. Sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (HR Bukhari).

Hadits ini mengisyaratkan, apabila para ulama tidak ada, maka manusia merujuk permasalahannya kepada orang bodoh dan mengikuti fatwa mereka yang tidak berlandaskan ilmu. Hal ini menjadi penyebab tersesatnya mereka. Bila demikian, maka merujuk permasalahan umat kepada para ulama merupakan satu kewajiban sebagai satu konsekwensi yang logis. Lebih lagi, bahwa tugas mereka yaitu untuk menolak sikap melewati batas, menghancurkan kebatilan dan menghilangkan kebodohan. Disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam dalam sabdanya,

يَحْمِلُ هَذَا اْلعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَ انْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ وَ تَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ

“Ilmu ini akan dibawa oleh orang yang adil dari setiap generasi; mereka akan menolak tahrif (perubahan)11 orang yang melampaui batas, menolak intihal12 ahlil batil dan ta’wil orang yang bodoh.”13

Demikianlah, para ulama adalah pemimpin yang mengendalikan dakwah. Mengarahkan dan membimbing umat. Bila tidak, maka umat ini akan tersesat dan mengambil orang bodoh sebagai pemimpin dan pengarah mereka.

Dalil-dalil lain yang menunjukkan wajib merujuk kepada para ulama -dalam agama ini- di antaranya ialah :

Pertama. Ulama adalah pemimpin agama dan penjaga syari’at. FirmanNya,

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِئَايَاتِنَا يُوقِنُونَ

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar.Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS As Sajdah : 24).

Mereka dijadikan pemimpin karena kesabaran dan keyakinan mereka kepada ayat-ayat Allah. Keyakinan tersebut tidak akan mereka dapati kecuali dengan ilmu.

Syaikhul Islam Ibnu taimiyah berkata,“Dengan kesabaran dan yakin, dicapai imamah (kepemimpinan) dalam agama.”

Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan hal ini dengan pernyataannya,“Allah telah menjadikan para ulama penjaga dan pengaman agama dan wahyuNya. Meridhai mereka untuk menjaga, menegakkan dan membelanya. Cukuplah itu sebagai kedudukan yang tinggi dan keutamaan yang agung. Allah berfirman,

ذَلِكَ هُدَى اللهِ يَهْدِى بِهِ مَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِ وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُم مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ ءَاتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ فَإِن يَكْفُرْ بِهَا هَاؤُلآءِ فَقَدْ وَكَّلْنَا بِهَا قَوْمًا لَيْسُوا بِهَا بِكَافِرِينَ

“Itulah petunjuk Allah yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. Mereka itulah orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka kitab, hikmah (pemahaman agama) dan kenabian. Jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya (yang tiga macam itu), maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak mengingkarinya”. (QSAl An’am : -89).14

Kedua. Ulama adalah hujjah Allah terhadap hambaNya di dunia. Hujjah tidak dapat ditegakkan, kecuali melalui seorang ‘alim yang berilmu. Tentang hal ini Allah berfirman,

وَإِذَا جَآءَهُمْ أَمْرُُ مِّنَ اْلأَمْنِ أَوْ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِى اْلأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syetan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (QS An Nisa’ : 83).

Ketiga. Ulama termasuk dalam ulil amri, sebagaimana tafsir kebanyakan ulama salaf mengenai firman Allah,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An Nisa : 59).

Keempat. Ulama adalah ahli dzikri, sebagaimana difirmankan Allah,

وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُوحِى إِلَيْهِمْ فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (QS An Nahl : 43).

Dari dalil-dalil di atas, jelaslah kewajiban merujuk kepada ulama dalam memahami agama ini, agar tidak tersesat dan menyimpang.

Mudah-mudahan kita dapat menjadikan para ulama sebagai nara sumber dan rujukan dalam memahami agama ini. Tentu saja, melihat dan menimbang semua pendapat mereka dengan Al Qur’an dan As Sunnah serta ijma’ para sahabat dan pemahaman para salafush shalih.

1 Taisir Karimir Rahman, Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 32.

2 Majmu’ Fatawa 1 /4

3 Ibid, 1 /5-6.

4 Majmu’ Fatawa, 1/7.

5 Miftah Daris Saadah hal.167-168. Dinukil dari Badai’ Tafasir Al Jami’ Li Tafsir Ibnil Qayyim, Karya Yusri Sayid Ahmad 2/477.

6 Madarijus Salikin 2/482.

7 Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud no.3641, At Tirmidzi no.3682, Ibnu Majah no.223, Ahmad 5/196 dan Ad Darimi 1/98. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Salim bin Ied Al Hilali dalam Bashair Dzawi Syaraf Bi Syarhi Marwiyati Manhajis Salaf , hal.33.

8 Yang mereka juluki ulama masail.

9 Dalam istilah mereka ulama dakwah, yang berkeliling melakukan jaulah dari rumah ke rumah dan dari masjid ke masjid.

10 Pembagian dan pengelompokan ulama dakwah dan ulama masa’il merupakan hal yang tidak ada dasarnya, bahkan tidak ada sebelumnya dari kalangan para salaf. Pembagian ini dilakukan sebagian orang bodoh yang belum mengenal arti penting dan peran ulama dalam perbaikan umat.

11 Pengkaburan ajaran yang benar.

12 Kedustaan ahlil bathil.

13 Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Ali Hasan dalam Tasfiyah Wa Tarbiyah, hal 24

14 Dinukil dari Bashair Dzawi Syaraf Bi Syarhi Marwiyati Manhajis Salaf, hal.37.



penulis : Al-Ustadz Kholid Syamhudi,Lc
www.ustadzkholid.com

Dakwah Tauhid


Tauhid adalah inti dakwah para Rasul, dari Rasul yang pertama sampai rasul yang terakhir. Alloh berfirman, “Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Alloh saja, dan jauhilah Thaghut’.” (An Nahl: 36)

Kaum muslimin sekalian, mereka tidaklah mendakwahi ummatnya dengan menekankan perbaikan ekonomi terlebih dahulu, tidaklah pula dengan merebut kekuasaan para penguasa yang zhalim terlebih dahulu dan mendirikan daulah islamiyah. Padahal kita semua tahu bahwa para rasul tersebut diutus di tengah-tengah masyarakat yang penguasanya amat zholim. Namun pokok dakwah mereka adalah perbaikan akidah ummat dan membersihkannya dari segenap kotoran syirik.


Kewajiban Berdakwah Sebagaimana Dakwah Nabi

Alloh Ta’ala berfirman, “Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Alloh dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Alloh, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’.” (Yusuf: 108). Dari ayat yang mulia ini, kita tahu bahwa pengikut Rosululloh yang hakiki adalah mereka yang berdakwah sebagaimana Rosululloh shollallohu ‘alaihi wassalam berdakwah. Tidaklah hal pertama dan utama yang Rosululloh shollallohu ‘alaihi wassalam dakwahkan kecuali tauhid, maka penyeru yang sejati ialah mereka yang menyerukan kepada tauhid. Sedangkan orang-orang yang menyimpang dari jalan ini disinyalir oleh Alloh Azza wa Jalla dalam firmanNya: “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Alloh agar kamu bertakwa.” (Al-An’am: 153)

Tauhid Adalah Poros Perbaikan Ummat

Kaum muslimin sekalian, dakwah perbaikan ummat manusia yang diserukan oleh para Rasul itu adalah dakwah Tauhid, memerangi syirik, yang mana kesyirikan adalah suatu kemungkaran dan kezhaliman yang paling besar di muka bumi ini. Dan tauhid yang diserukan oleh para nabi dan Rasul adalah Tauhid Uluhiyah, yaitu mentauhidkan/mengesakan Alloh dalam ibadah, artinya memurnikan dan memperuntukkan ibadah hanyalah untuk Alloh semata, bukan untuk yang selain Alloh. Di sinilah letak dimana mereka paling banyak ditentang dan diingkari oleh kaumnya. Alloh Azza wa Jalla berfirman: “Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Alloh (saja), dan jauhilah Thaghut itu’, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Alloh dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (An-Nahl: 36)

Dakwah Tauhid Adalah Dakwah Rinci

Dakwah tauhid bukan dakwah global yang hanya menyeru: ‘Mari bertauhid!’, akan tetapi dakwah yang mulia ini juga memerinci manakah yang termasuk tauhid dan manakah yang termasuk syirik. Sehingga dengan tertanamnya hal ini pada masyarakat kaum muslimin maka tujuan penciptaan manusia dan jin dapat terwujud.

Alloh Ta’ala telah berfirman: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa, Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Alloh, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 21-22)

Maka dengan demikian wajib bagi setiap muslim untuk mempelajari tauhid yang merupakan awal yang harus dia tuntut kemudian direalisasikan dalam ibadahannya. Dan juga mempelajari tentang syirik yang merupakan lawan dari tauhid dan macam-macam syirik untuk dijauhi dan agar tidak terjerumus ke dalam kesyirikan. Karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Alloh, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (An-Nisa’: 48)

Manakala tauhid merupakan pokok keselamatan dunia dan akhirat sekaligus hal pertama kali yang harus dipelajari oleh manusia, maka tauhidlah yang mestinya disampaikan dan didakwahkan kepada manusia pertama kali. Selain itu dakwah tauhid juga harus dijadikan sebagai proiritas utama sebagaiman dakwah para Rasul Alloh yang diutus untuk ummatnya dan juga apa yang telah telah Alloh perintahkan. Alloh Azza wa Jalla berfirman: “Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Alloh dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Alloh, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’.” (Yusuf: 108)

Kuantitas Pengikut Bukanlah Barometer Keberhasilan Dakwah

Sidang pembaca sekalian, kita lihat dari siroh rosul bahwa Rosululloh Muhammad shollallohu ‘alaihi wassalam ketika berdakwah selama tiga belas tahun lamanya hanya menyerukan tauhid kepada bangsa Arab, khususnya kaum Quraisy di Mekkah. Rentang waktu ini begitu sangat panjang dilihat dari masa kenabian beliau. Perjalanan dakwah beliau inipun diiringi dengan rintangan yang luar biasa besar. Siksaan kaum Quraisy terhadap para pengikut beliau sangat gencar, sementara kaum muslimin pada waktu itu masih berjumlah sedikit dan tidak punya daya kekuatan untuk melawannya.

Dakwah ini memang membutuhkan waktu yang panjang dan lama untuk memetik hasilnya, tapi justru hal itulah yang dituntunkan oleh syari’at Islam. Kita tidak akan ditanya oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala di akhirat kelak: Berapa jumlah pengikut yang berhasil kita rekrut? tetapi yang akan ditanyakan adalah: Sudahkah kita menyampaikannya kepada manusia sebagaimana diperintahkan? Sama saja bagi kita, apakah mendapat pengikut ataukah tidak, selama dakwah kita sesuai dengan tuntunan sesuai syariat maka itulah wujud keberhasilan dakwah yang sebenarnya.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa ketika mi’raj, Alloh menunjukkan kepada Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wassalam para nabi dan rasul sebelum beliau beserta pengikutnya. Ada nabi yang hanya memiliki beberapa orang pengikut, dan bahkan ada yang tidak mempunyai seorang pengikut pun. Dan tatkala kita menengok sejarah nabi Nuh, berapa lama beliau berdakwah? Yaitu selama sembilan ratus lima puluh tahun. Berapakah jumlah pengikut beliau yang berhasil didakwahi yang akhirnya ikut dalam bahtera dan diselamatkan dari adzab Alloh? Tidaklah banyak, hanya sedikit jumlahnya. Mereka para rasul adalah orang-orang yang sukses dalam berdakwah, walaupun jika dilihat dari jumlah pengikut amatlah sedikit.

Lihatlah sejarah perjalanan panjang dakwahnya para nabi dan Rasul, jika kita menelusuri jejak para nabi niscaya kita dapatkan cobaaan kita lebih kecil dibandingkan ujian yang diperoleh oleh para nabi dan Rasul tersebut berupa penentangan dan pengingkaran dari kaumnya, belum lagi kesabaran yang luarbiasa yang mereka miliki untuk mendakwahkan tauhid di tengah-tengah kerusakan ummatnya.

Karena itulah nabi kita Muhammad shollallohu ‘alaihi wassalam ketika mengutus utusan beliau untuk berdakwah ke daerah lain, selalu mewasiatkan agar tauhidlah yang pertama kali mesti didakwahkan, sebagaimana sabda beliau kepada Mu’adz bin Jabal ketika akan diutus ke negeri Yaman untuk berdakwah, beliau Shallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya kamu akan mendatangi satu kaum dari ahli kitab, maka hendaklah yang pertama kamu serukan kepada mereka adalah (agar mereka) bersaksi bahwasanya tiada Tuhan yang berhak untuk disembah melainkan Alloh.” (Diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari dan Imam Muslim), dan dalam satu riwayat dari Imam Al-Bukhari [dengan lafazh]: Agar mereka mentauhidkan Alloh (dalam beribadah kepadaNya). Wallohu a’lam.

***

Penulis: Shalih Abu Muhammad
Artikel www.muslim.or.id

Iman Kepada Rasululloh - shollallohu ‘alaihi wa sallam



Diantara hak-hak Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam atas umatnya adalah beriman kepadanya. Iman ini merupakan konsekwensi dari persaksian (أشهد أن محمدا عبد الله و رسوله). Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban setiap orang yang mengucapkannya untuk mengetahui hakekat hak ini dan komitmen dengannya baik secara keyakinan, perkataan maupun amalan perbuatan.

Pengertian iman kepada Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.
Iman kepada Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dapat disimpulkan dengan pernyataan syeikhul Islam yaitu: “Imam kepada Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam adalah membenarkannya dan mentaatinya serta mengikuti syari’atnya.”[1] Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa iman kepada Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memiliki dua rukun asasi, yaitu:

☼ Perkataan beliau: “Tashdiq” (membenarkan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam) disini mencakup dua perkara agung yaitu:
1. Menetapkan kenabian dan kebenaran beliau dalam semua yang beliau sampaikan dari Allah.[2] Ini khusus bagi beliau, dan masuk didalamnya beberapa hal, diantaranya:
a. Mengimani keumuman risalah beliau kepada seluruh manusia dan jin.
b. Mengimani bahwa beliau adalah penutup para nabi dan risalahnya adalah penutup seluruh risalah ilahi.
c. Mengimani bahwa risalahnya menghapus syari’at-syari’at sebelumnya.
d. Mengimani bahwa beliau telah menyampaikan risalah kerasuluannya dan telah menyempurnakannya serta menunaikan amanat yang diembannya dan juga telah menasehati umat sehingga meninggalkan mereka dalam keadaan terang benderang.
e. Mengimani kemaksumannya.
f. Mengimani hak-hak beliau yang lainnya seperti kecintaan dan pengagungan.

2. Membenarkan semua yang beliau bawa dan membenarkan bahwa semua ajaran beliau adalah kebenaran dari Allah yang wajib diikuti. Hal ini wajib bagi beliau dan umatnya.[3]
Sehingga wajib membenarkan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam semua beritanya dari Allah baik berkenaan dengan berita kejadian yang telah lalu atau yang akan dating, atau masalah halal dan haram dan meyakini bahwa itu semua dari Allah, sebab Allah telah berfirman tentang beliau:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (٣) إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (QS. An-Najm: 3-4)

☼ Pernyataan beliau: “Menataatinya dan mengikuti syari’atnya” adalah rukun asasi kedua. Sehingga mereka yang beriman kepada Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam harus bertekad untuk mengamalkan semua ajaran beliau. Pengertian rukun ini adalah ketundukan (inqiyaad) kepada beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam dengan melaksanakan seluruh perintah dan menjauhi seluruh larangannya dalam rangka mengamalkan firman Allah:
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS. Al-Hasyr: 7)
Wajib bagi kita semua mengikuti syari’atnya dan komitmen dengan sunnahnya dengan keridhoan pada semua keputusannya dan berserah total padanya, sebagaimana dijelaskan Allah dalam firmanNya:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisaa: 65)
Demikian juga wajib meyakini dengan pasti bahwa ketaatan kepada beliau adalah ketaatan kepada Allah dan memaksiati beliau sama dengan memaksiati Allah, karena beliau adalah perantara antara Allah dengan manusia dan jin dalam penyampaian risalah ilahi.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulloh menyatakan: “Wajib bagi makhluk untuk membenarkan dan tunduk (iqrar) kepada semua ajaran Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam baik yang dikandung al-Qur’an ataupun Sunnah yang telah dikenal. Wajib bagi makhluk membenarkan dan tunduk kepadanya secara global dan terperinci ketika mengetahui perinciannya. Sehingga seorang tidak menjadi mukmin hingga membenarkan dan tunduk kepada ajaran Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam. Inilah realisasi dari Syahadatain. Siapa yang bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah maka bersaksi bahwa beliau jujur dan benar dalam semua yang beliau beritakan dari Allah, karena ini adalah hakekat syahadat terhadap risalah (kerasulan Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam).”[4]

Dasar kewajiban beriman kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam
Kewajiban beriman kepada nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam merupakan perkara yang sangat jelas dan gamblang karena ditunjukkan oleh ayat al-Qur’an, Sunnah dan ijma’ kaum muslimin.
Dalil dari al-Qur’an
1. Firman Allah:
آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ (7) وَمَا لَكُمْ لاَ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالرَّسُولُ يَدْعُوكُمْ لِتُؤْمِنُوا بِرَبِّكُمْ وَقَدْ أَخَذَ مِيثَاقَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar. Dan mengapa kamu tidak beriman kepada Allah padahal Rasul menyeru kamu supaya kamu beriman kepada Rabbmu. Dan sesungguhnya Dia telah mengambil perjanjianmu jika kamu adalah orang-orang yang beriman. (QS. Al-Hadid: 7-8)

2. Firman Allah:
فَآَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالنُّورِ الَّذِي أَنْزَلْنَا وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada cahaya (al-Qur’an) yang telah Kami turunkan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. At-Taghabuun: 8 )

3. Firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلآَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ اْلآَخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيدًا

Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisaa: 136)

4. Firman Allah:
لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ وَتُسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلاً

Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang. (QS. Al-Fath: 9)

5. Firman Allah:
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَآَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Katakanlah, Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan yang mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk. (QS. Al-A’raf: 158)
6. Firman Allah:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar. (QS. Al-Hujuraat: 15)

Dalil dari Sunnah Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam
Banyak hadits menunjukkan kewajiban beriman kepada beliau, diantaranya:
1. Hadits Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma yang berbunyi:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mengucapkan syahadatain, menegakkan sholat dan menunaikan zakat. Apabila mereka kerjakan hal-hal itu maka mereka telah menjaga darah dan harta mereka dariku kecuali dengan hak islam dan hisab mereka ditangan Allah. (Muttafaqun ‘Alaihi)
2. Hadits Abu Hurairoh rodhiyallohu ‘anhu yang berbunyi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَيُؤْمِنُوا بِي وَبِمَا جِئْتُ بِهِ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

Dari Abu Hurairoh bahwasanya Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mengucapkan syahadat La ilaaha Illa Allah dan beriman kepadaku dan kepada seluruh ajaranku. Apabila mereka kerjakan hal-hal itu maka mereka telah menjaga darah dan harta mereka dariku kecuali dengan hak islam dan hisab mereka ditangan Allah. (HR Muslim)

3. Hadits Abu Hurairoh yang berbunyi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

Dari Abu Hurairoh dari Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau telah bersabda: Demi Allah Dzat yang jiwa Muhammad ada ditangan-Nya, tidaklah seorang pun dari umat ini baik yahudi ataupun nashroni yang mendengar aku kemudian mati dan tidak beriman kepada ajaran yang aku diutus membawanya kecuali ia menjadi penghuni neraka. (HR Muslim).

4. Hadits Mu’adz bin Jabal rodhiyallohu ‘anhu yang berbunyi:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

Dari Ibnu Abas bahwasanya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah mengutus Mu’adz ke Yaman lalu beliau bersabda: Ajak mereka kepada syahadat La Ilaaha Illa Allah dan sesungguhnya aku adalah Rasululloh. Apabila mereka mentaatimu dalam hal ini maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan mereka melakukan sholat lima waktu dalam sehari semalam. Apabila mereka mentaatimu dalam hal itu maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan mereka zakat dari harta mereka, diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada para fakir miskin mereka. (HR al-Bukhori).

Hadits-hadit diatas menegaskan kewajiban beriman kepada Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan seluruh ajarannya. Demikian juga mentaatinya dan itu dengan menghalalkan yang beliau halalkan dan mengharamkan yang beliau haramkan, mewajibkan kewajiban yang beliau wajibkan dan memakruhkan apa yang beliau makruhkan.

Dalil dari Ijma’
Umat islam telah berijma’ (consensus) atas kewajiban beriman kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam sebagaimana telah berijma’ bahwa semua orang yang telah ditegakkan hujjah dengan risalah Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam dari manusia dan jin lalu tidak beriman maka berhak mendapatkan siksaan seperti siksaan orang-orang kafir yang Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam diutus pada mereka dahulu. Ini merupakan pokok yang telah disepakati para sahabat, tabi’in, para imam kaum muslimin dan seluruh kelompok muslimin ahlu Sunnah wal jamaah dan selain mereka.[5]

Sudah demikian jelas kewajiban beriman kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam. Dan berikutnya diperlukan penjelasan rinci atas perincian iman kepada Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam.
Wabillahi at-Taufiq.

Penulis: Kholid Syamhudi, Lc.

Artikel ustadzkholid.com

——————————-

Catatan Kaki:

[1] Iqtidha’ ash-Shiratil Mustaqim hal. 92.
[2] Majmu’ Fatawa 15/91
[3] Majmu’ Fatawa 15/91
[4] Majmu’ Fatawa 5/154
[5] Idhoh al-Dalalah Fi ‘Umum al-Risalah, Ibnu Taimiyah yang ada pada Majmu’at al-Rasaa’il al-Muniriyah 2/99.

BEGINI KEYAKINAN AHLUSSUNNAH TERHADAP SAHABAT NABI



Kedudukan sahabat di umat ini
Setelah kedudukan Nabi, tidak ada lagi kedudukan yang lebih tinggi dan lebih mulia dibanding kedudukan para sahabat yang telah diridhai oleh Allah untuk mendampingi nabi-Nya yang termulia sekaligus penutup para nabi. Dan untuk menjadi pembela agama-Nya. Mereka itu adalah sebaik-baik pendamping nabi dan rasul.
Allah Ta'ala telah berfirman di dalam surat At-taubah ayat 100 (yang artinya) :
“ Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar “.
yang dimaksud dengan Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam), tak lain dan tak bukan adalah para sahabat –radhiallahu anhum-
dan Rasulullah -shalallahu alaihi wa sallam- bersabda:
“ Sebaik-baik manusia adalah yang hidup dimasaku, kemudian setelahnya, kemudian setelahnya“
[ HR. Bukhari, muslim, dan tirmidzi ]

Keutamaan mereka
Mengapa para sahabat Nabi bisa mencapai derajat sebagai generasi terbaik umat ini?apakah yang mereka lakukan?berikut ini sebagian keutamaan – keutamaan mereka yang menjadikan mereka sebagai umat terbaik.
1. Lebih dahulu masuk islam
hal ini telah dipuji oleh Allah, sebagaimana surat At-Taubah ayat 100 diatas.
2. Mendampingi Rasulullah.
Tak diragukan lagi bahwa ini merupakan salah satu kemuliaan mereka, sebab dakwah nabi yang berat, harus disokong dengan para manusia-manusia pilihan dan bukan sembarangan, yang mampu menemani nabi dalam tugas dakwah yang berat.
3. Sabar diwaktu susah.
Didalam menemani nabi, mereka merasakan masa-masa sulit dan berat. diantara mereka ada yang disiksa karena mempertahankan iman, bersama nabi mereka pernah diboikot kaum musyrikin selama tiga tahun, sampai sampai mereka ada yang terpaksa memakan sepatu kulitnya demi menyambung hidup didalam pemboikotan ini.
4. Hijrah dan memberikan perlindungan kepada nabi .
Para sahabat muhajirin rela meninggalkan rumah-rumah, harta benda dan kekayaan mereka untuk hijrah di jalan Allah Ta'ala, tetapi Allah serta merta mengganti semuanya dengan kejayaan dikemudian hari. dan sahabat anshar rela melindungi nabi sekalipun seluruh dunia memusuhi.
5. Pembelaan kepada nabi dan jihad.
Kita lihat pembelaan mereka kepada nabi dan jihad mereka yang sangat luar biasa. bisakah anda bayangkan, mereka rela berjihad dengan tiga ribu personel saja melawan dua ratus ribu pasukan romawi didalam perang mu’tah selama berhari-hari?
6. Pewaris utama nabi dalam hal ilmu dan amal.
mereka adalah pewaris ilmu langsung dari nabi sekaligus pengamal ajaran nabi yang murni.
7. Menyampaikan dan menyebarkan agama.
Mereka dengan perjuangan yang berat, menyebar ke penjuru dunia untuk menyampaikan dan menyebarkan agama ini.

Keyakinan ahlusunnah wal jamaah terhadap sahabat
Kita sebagai ahlussunnah harus memiliki keyakinan yang benar terhadap para sahabat. Berikut ini keyakinan yang harus diyakini oleh ahlussunnah dan juga hak-hak yang harus kita penuhi terhadap mereka.
Pertama : menyakini keutamaan dan kelebihan mereka yang telah ditetapkan didalam berbagai dalil, serta menjaga hati dari membenci mereka.
Kedua : menyakini bahwa Semua Shahabat adalah adil.
Ibnu Hajar berkata : "Yang dimaksud dengan adil ialah orang yang mempunyai sifat ketaqwaan dan muru'ah (menjaga harga diri)"
Ibnu Katsir berkata ;"Semua shahabat adalah 'adil (orang yang mempunyai sifat ketaqwaan dan menjaga harga diri) menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuji mereka di dalam Al-Qur'an dan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam-pun memuji prilaku dan ahlak mereka. Mereka telah mengorbankan harta dan jiwa mereka di hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mereka mengharap ganjaran yang baik (dari Allah) “
Ketiga :mencintai mereka dengan hati, memuji mereka dengan lisan, disebabkan mereka telah memiliki jasa-jasa yang sangat besar, yang mewarisi agama ini dari Nabi hingga sampai kepada kita, kemudian setelah itu, menebarkan rasa cinta kepada mereka ditengah-tengah umat
Keempat :belajar dari mereka dan mengikuti mereka baik dalam hal ilmu, amal, dakwah, muamalah keseharian, dan amar ma’ruf nahi mungkar.
Kelima :memohonkan rahmat dan ampunan bagi mereka, sebagai wujud pengamalan firman Allah Ta’ala (yang artinya) :
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." [al-hasyr : 10 ]
Keenam :menahan diri dari ucapan yang jelek kepada mereka dan tidak membicarakan perselisihan yang terjadi dikalangan mereka.
Ketujuh :waspada terhadap kabar burung / isu tentang kejelekan yang disandarkan kepada mereka.
Kedelapan : menyakini haramnya mencaci maki mereka atau salah seorang dari mereka, sebagimana sabda beliau –shallahu alaihi wa sallam- :
janganlah kalian mencaci sahabatku, demi Dzat yang jiwaku berada ditanganNnya, seandainya seseorang dari kalian menginfakkan emas seperti besarnya gunung uhud, maka (infak kalian itu) nilainya tak akan mencapai secungkup dua tangan salah seorang dari mereka dan bahkan tidak setengahnya. [HR. Bukhari dan muslim ]
Dan sungguh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda : " Barang siapa yang mencaci maki sahabat-sahabatku, maka baginya laknat Allah, malaikat, dan manusia seluruhnya " [HR.Thabarani]

Pelajaran penting
Setelah kita mengetahui keutamaan para sahabat dan keyakinan yang benar terhadap mereka, maka dari situkita bisa mendapatkan suatu pelajaran penting, yang mana pelajaran ini sangat penting untuk suksesnya kehidupan kita didunia dan diakherat kelak
Pelajaran itu adalah : Kewajiban kita untuk mengikuti cara beragamanya sahabat.
pelajaran diambil dari pujian Allah kepada mereka seperti firman-Nya dalam surat At-Taubah ayat 100 (yang artinya) : “ Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar “. Allah memuji kaum atau meridhainya, jika kaum itu berada didalam jalan kebenaran, berada didalam aqidah yang lurus, beramal amalan yang benar. didalam ayat ini Allah memuji para sahabat nabi dan juga memuji orang-orang yang mengikuti cara beragama para sahabat. dari sini tersirat sebuah pelajaran penting yaitu barang siapa yang ingin mendapatkan keridhaan Allah, maka wajib mengikuti cara beragama para sahabat.
dan firman-Nya (yang artinya) :
Dan barangsiapa yang menentang/memusuhi Rasul sesudah nyata baginya al-hidayah (kebenaran) dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang mu’min, niscaya akan Kami palingkan (sesatkan) dia ke mana dia berpaling (tersesat) dan akan Kami masukkan dia ke dalam jahannam dan (jahannam) itu adalah seburuk buruknya tempat kembali. [An-Nisa’ ; 115]
Ayat yang mulia ini merupakan dalil yang tegas dan terang tentang kewajiban yang besar bagi kita untuk mengikuti “jalannya orang-orang mu’min” yaitu para sahabat. Yakni cara beragama mereka dan pemahaman mereka berdasarkan nash Al-Kitab dan As-Sunnah diantaranya ayat di atas.
Kenapa “sabilil mukminin atau jalannya orang-orang mukmin” diayat yang mulia ini ditafsirkan dengan para sahabat (?!) bukan umumnya orang-orang mu’min?
Pertama:Ketika turunnya ayat yang mulia ini, tidak ada orang mu’min di permukaan bumi ini selain para sahabat. Maka, khithab (pembicaraan) ini pertama kali Allah tujukan kepada mereka.
Kedua : bisa dipahami, bahwa orang-orang mu’min yang sesudah mereka (para sahabat) dapat masuk ke dalam ayat yang mulia ini dengan syarat mereka mengikuti jalannya orang-orang mu’min yang pertama yaitu para sahabat. Jika tidak, berarti mereka telah menyelisihi jalannya orang-orang mu’min sebagaimana ketegasan firman Allah di atas.
Ketiga: karena perjalanan orang-orang mu’min yang paling jelas arahnya, aqidah dan manhajnya hanyalah perjalanan para sahabat. Adapun yang lain mengikuti perjalanan mereka, baik aqidah dan manhaj.
Keempat: orang-orang mu’min yang paling mengerti terhadap agama Allah hanyalah para sahabat. Allah telah menegaskan di dalam Kitab-Nya yang mulia bahwa mereka adalah orang-orang yang telah diberi ilmu. (Surat Muhammad ayat 16).
Kelima: Perjalanan orang-orang mu’min yang mulia yang paling taqwa kepada Allah secara umum hanyalah para sahabat.
Keenam: Perjalanan orang-orang mu’min yang tidak pernah berselisih didalam aqidah dan manhaj hanyalah perjalanan para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka tabi’in dan tabi’ut tabi’in dan seterusnya.
Ketujuh: Para sahabat adalah orang-orang yang pertama-tama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu Allah memerintahkan manusia untuk mengikuti mereka.(Surat Al-Baqarah ayat:13).
semoga setelah kita membaca risalah kecil ini, hati kita semakin mencintai para sahabat, mengetahui keutamaan-keutamaan mereka dan yang lebih penting lagi yaitu kita bisa mencontoh cara beragama mereka yang dengannya semoga kita mendapatkan keridhaan dari Allah Ta’ala dan kita bisa dikumpulkan bersama mereka di akherat kelak
Wa shallahu ‘ala Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi ajma’in




Akhuna ABDURRAHMAN MUTTAQIN

NGALAP BERKAH




Bismillah walhamdulillah washsholatu wassalamu ‘ala rasulillah wa ‘ala alihi waman walah.
‘Ngalap berkah’ merupakan sebuah fenomena klasik yang memang ada sejak dulu. Dahulu ada orang mengira bahwa bebatuan, pepohonan, kuburan dan lainnya bisa memberikan berkah. Demikian pula sekarang, diyakini adanya berkah pada kuburan orang, benda, waktu dan tempat tertentu. Dahulu ada orang yang menggantungkan senjata pada pepohonan yang diagungkan dengan harapan berkahnya berpindah kepada senjata tersebut , maka di zaman serba canggih sekarang ini pun masih ada yang meniru demikian dengan mengusap-usap atau menempelkan sesuatu yang dimiliki kepada sesuatu diagungkan dengan keyakinan berkahnya menempel dan berpindah. Dahulu ada orang yang mengunjungi kuburan Laata (orang sholeh di masa sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan melakukan ritual kuburan di sekitarnya untuk mengharap berkah darinya, maka sekarang pun banyak orang yang melakukan hal seperti ini. Allah ‘Azza wa Jalla mengabadikan nama orang sholeh yang disembah setelah kematiannya ini dalam kitab-Nya yang artinya: “Maka apakah patut kamu (wahai orang musyrik) menganggap Laata dan ‘Uzza,@ dan Manat yang ketiga yang kemudian (sebagai anak perempuan Allah)?”.(QS.An-Najm:19-20). Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menyebutkan perkataan Ibnu Abbas, Mujahid dan Rabi’ bin Anas dalam menafsirkan ayat ke-19 ini: “Bahwa dahulu (Laata) adalah seseorang di masa Jahiliyah yang selalu menyediakan sawiq (sejenis makanan yang diolah melalui proses pengadonan) untuk jemaah haji. Tatkala ia sudah meninggal, orang-orangpun beri’tikaf di sekitar kuburannya (untuk mengharapkan berkahnya), lalu (akhirnya) merekapun menyembahnya.”
Adanya fenomena ini semenjak dulu dan demikian pula sekarang, apakah lantas menjadikan pembenaran dan pembolehan terhadap hal ini? Bagaimana ‘kaca mata’ Syari’at agama ini menilai fenomena ini? Berikut penjabarannya.

Makna Berkah
Berkah atau berkat berasal dari bahasa Arab yaitu ‘barokah’. Secara bahasa bermakna: Kebaikan yang banyak dan tetap. Sementara menurut Syar’i didefinisikan sebagai berikut: Menetapnya kebaikan ilahi pada sesuatu. Makna ini berdasarkan firman Allah Azza Wa Jalla yang artinya :
“Dan kalau sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami akan limpahkan kepada mereka berkah dari langi dan bumi.” (QS. Al-A’rof:96)
Meminta dan mengharap berkah atau yang disebut dengan ‘ngalap berkah’ diungkapkan dalam bahasa Arab dengan istilah ‘Tabarruk’. Seseorang yang meyakini adanya berkah pada sesuatu, lalu meminta dan mengharapnya, maka dia telah bertabarruk kepada sesuatu tersebut.

Ragam Tabarruk
Para ulama membagi tabarruk menjadi dua macam, yakni:
1. Tabarruk Syar’i ( Ngalap berkah yang dibolehkan).
Maksudnya adalah meminta dan mengharap berkah, kebaikan, tambahan, pahala dan segala sesuatu yang dibutuhkan seorang hamba dalam urusan agama dan dunianya dengan sebab perantaraan sesuatu yang diberkahi oleh Allah Ta'ala berupa benda, tempat, waktu dan lainnya. Penetapan adanya berkah pada sesuatu serta tatacara memperoleh berkah tersebut harus berdasarkan dalil syar’i yaitu wahyu Al-Quran dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Meminta berkah dibenarkan dalam agama kita, apabila terpenuhi syarat-syarat berikut ini:
a. Orang yang meminta dan mengharap berkah tersebut adalah seorang muslim yang mengikuti petunjuk Allah Ta'ala dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
b. Meyakini bahwa Pemberi berkah tersebut hanyalah Allah semata. Ini berdasarkan hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,”Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan. Ketika itu air tersisa sedikit, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta sisa air tadi maka merekapun (para shahabat) membawa air yang sedikit itu dalam sebuah bejana. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan beliau ke dalam air tersebut sembari mengucapkan:”Mari menuju air yang diberkahi dan berkah hanya berasal dari Allah Ta'ala.”. Ibnu Mas’ud berkata,”Sungguh aku lihat air itu memancar dari jari-jemari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”(HR. Bukhari).
c. Adanya dalil dari Al-Quran atau hadits yang menjelaskan bahwa sesuatu tersebut diberkahi, kemudian tidak boleh diyakini bahwa yang menciptakan dan memberikan berkah adalah sesuatu tersebut namun ia hanya sebagai sebab semata.
d. Mengambil atau mendapatkan berkah tersebut sesuai dengan tatacara yang dijelaskan menurut Al-Quran dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
e. Meyakini bahwa tidak ada seorangpun -meskipun seorang wali atau orang sholeh- yang boleh diharapkan adanya berkah dari anggota tubuhnya, baik itu segala sesuatu yang berasal dari dirinya maupun bekas pemakaiannya selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana para shahabat radhiyallahu ‘anhum mengharapkan berkah dari sisa wudhu’ dan potongan rambut beliau. Keyakinan ini disebabkan beberapa alasan:
- Tidak layaknya seseorang selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dibandingkan atau disamakan dengan beliau dalam hal keutamaan dan berkah.
- Para shahabat radhiyallahu ‘anhum tidak pernah mengharap berkah dari selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa hidup beliau atau setelah wafat beliau padahal mereka adalah orang-orang sholeh. Bahkan diantara mereka ada yang dikabarkan termasuk penghuni surga ketika mereka masih hidup, namun mereka tidak meminta dan mengharap berkah kepada sesama mereka.
- Tidak adanya jaminan dari Allah dan rasul-Nya terhadap kesalehan seseorang. Karena kesalehan mencakup amal hati yang tidak ada seorangpun yang mengetahuinya melainkan Allah ‘Azza wa Jalla semata.
- Ngalap berkah kepada seseorang sangat mungkin menimbulkan perasaan ujub, angkuh, riya dan sombong pada diri orang tersebut.

Sesuatu yang dinyatakan oleh dalil Al-Quran dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sesuatu yang diberkahi dan kita dibenarkan untuk bertabaruk dengannya adakalanya berupa tempat, negeri, waktu, ucapan, makanan/minuman maupun keadaan.
Tempat yang diberkahi diantaranya adalah Masjidil Haram (termasuk ka’bah), Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha. Cara mendapatkan berkah dari tempat-tempat yang diberkahi ini adalah dengan sholat dan berdzikir di dalamnya bukan dengan mengusap-usap bangunannya.
Adapun diantara negeri yang diberkahi adalah Mekah, Madinah dan Syam yang berkahnya berupa adanya rasa aman dan rizki yang melimpah. Tatacara meraih berkahnya adalah dengan tinggal menetap disana bukan dengan mengambil tanah atau bebatuannya.
Waktu-waktu yang penuh berkah diantaranya adalah bulan Ramadhan, lailatul qodar, sepertiga akhir malam, hari raya qurban, hari Jumat, Senin dan Kamis. Caranya dengan melaksanakan ibadah-ibadah yang disyari’atkan sesuai masing-masing waktu tersebut.
Diantara ucapan yang dapat diperoleh berkah dengannya adalah ucapan nasehat, dakwah, istighfar, do’a dan dzikir.
Termasuk keadaan yang diberkahi adalah makan berjama’ah (bersama). Sedangkan jenis makanan atau minuman yang diberkahi adalah madu, air zamzam, zaitun, dan habbatussauda (biji jintan).
Al-Quran juga mengandung berkah, namun caranya adalah dengan membacanya, merenungi dan menghayati kandungan maknanya lalu mengamalkannya. Bukan dengan menggantungkannya atau memajangnya.

2. Tabarruk (Ngalap berkah) Terlarang.
Yaitu mengharap dan meminta berkah dari segala sesuatu yang tidak dijelaskan oleh dalil Al-Quran dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sesuatu yang diberkahi. Tabarruk jenis ini juga mencakup tabarruk pada tempat, waktu, dan orang-orang sholeh (baik anggota tubuhnya maupun sisa atau bekas yang digunakannya), serta benda-benda lainnya yang tidak ditetapkan oleh dalil Al-Quran dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sesuatu yang diberkahi. Seperti ngalap berkah di kuburan walaupun penghuni kuburnya seorang nabi atau wali, maka ini terlarang karena bisa menghantarkan kepada kesyirikan sebagaimana yang terjadi pada kisah Laata. Demikian pula terlarang ngalap berkah di gua Hira dan gua Tsur.
Adapun mengusap atau mencium Hajar aswad, bukan disebabkan adanya berkah pada batu tersebut sebagaimana yang disangka orang awam namun itu hanya sebagai bentuk mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam thowaf. Ini berdasarkan hadits Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata di hadapan Hajar aswad: “Demi Allah, sungguh aku tahu bahwa engkau hanyalah sebuah batu yang tidak bisa membuat celaka dan juga tidak dapat memberi kemanfaatan. Kalaulah aku tidak melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, pasti aku tidak akan menciummu.” (HR. Bukhari)

Hukum Tabarruk
1. Apabila meyakini bahwa Pemberi berkah tersebut selain Allah Ta'ala walaupun bertabarruk dengan sesuatu yang syar’i maka hukumnya Syirik Akbar.
2. Jika meyakini bahwa Allah yang memberi berkah namun meyakini adanya berkah pada sesuatu sebab yang tidak syar’i (yang tidak ditetapkan oleh dalil Al-Quran dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sesuatu yang diberkahi) maka ini termasuk Syirik Ashghar yang dapat menghantarkan kepada syirik akbar.
Sebuah hadits yang menunjukkan Tabarruk yang syirik adalah riwayat dari shahabat Abu Waqid Al-Laitsi Al-Harits bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia mengisahkan: ”Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk berperang) menuju Hunain sementara kami baru saja masuk Islam. Orang-orang musyrik (pihak musuh) memiliki sebuah pohon Sidr (bidara) yang besar. Mereka biasa duduk-duduk di sekitarnya dan menggantungkan senjata-senjata mereka (untuk mendapatkan berkah). (Pohon ini) dikenal dengan nama Dzatu Anwath (Tempat bergantung). Lalu kami melewati sebuah pohon besar kemudian berkata: ”Wahai Rasulullah, buatkan untuk kami Dzatu Anwath seperti Dzatu Anwath milik mereka. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda: “Allahu akbar. Inilah kebiasaan turun temurun (orang-orang dahulu). Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian mengatakan seperti perkataan Bani Israil kepada Musa ‘Alaihissalam :“Buatkan kami tuhan seperti tuhan-tuhan milik mereka”. Ia (Musa) berkata,”Sesungguhnya kalian kaum yang bodoh”. Sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan (buruk) orang-orang sebelum kalian.” (HR. Tirmidzi).
Akhirnya, kita memohon kepada Allah Subhana wa Ta'ala untuk melimpahkan barokah-Nya kepada kita di mana saja kita berada dan menyelamatkan kita dari jurang-jurang kesyirikan dan kekufuran hingga akhir hidup kita. Wallahu Muwaffiq.


Akhunal Fadhil Abul ‘Aliyah

ISLAM, ANUGERAH TERBESAR




Islam dalam bahasa Arab bermakna penyerahan diri. Adapun yang kita maksudkan disini adalah agama yang diwahyukan oleh Allah kepada nabi Muhammad dengan Al-Qur'an sebagai pedoman hidup. Atau dalam definisi lain, Islam adalah bentuk penyerahan diri kepada Allah dengan mengesakanNya, tunduk dan patuh dengan menjalani ketaatan kepadaNya, serta berlepas diri dari segala bentuk kesyirikan dan para pelakunya.

Betapa Sempurnanya Islam
Diantara nikmat agung yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan kepada umat manusia adalah disaat mereka mau menerima agama Islam sebagai jalan hidup mereka. Bagaimana tidak ?!! Allah sendirilah yang telah meresmikan agama ini, dan menggambarkan keadaan agama ini sebagai agama yang sempurna. Allah Ta'ala berfirman yang artinya,”Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmatKu bagimu, serta telah Ku ridhoi Islam sebagai agamamu.” [Al-Maidah : 3].
Inilah anugerah terbesar yang Allah limpahkan kepada umat ini, dimana Allah telah menyempurnakan agama Islam untuk mereka. Sehingga mereka tidak butuh lagi dengan agama yang lain, dan nabi yang lain selain Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Allah jadikan Muhammad sebagai penutup para nabi terdahulu, mengutusnya ke tengah-tengah manusia dan jin. Maka tak ada sesuatu yang halal selain yang telah Allah halalkan, juga tak ada sesuatu yang haram selain yang telah Allah haramkan. Singkatnya, tak ada agama selain yang disyariatkan oleh Allah dan RasulNya.
Dan Islamlah agama yang diridhoi dan dicintai Allah, Allah telah mengutus nabi terbaik (Muhammad), dan telah menurunkan kitab termulia (Al-Qur'an) untuk kejayaan Islam. Sampai-sampai salah seorang Yahudi berkata ketika ayat ini (Al-Maidah : 3) diturunkan,” Kalau saja ayat ini turun kepada kami, pasti hari turunnya ayat ini akan kami jadikan hari raya.”(lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Perhatikanlah ! Betapa irinya si Yahudi ini terhadap orang-orang Islam. Maka berbahagialah wahai kaum muslimin akan nikmat agung ini.

Islam Tidak Butuh Tambahan
Setelah kita meyakini bahwa agama ini sepenuhnya telah sempurna, maka tentunya tidak ada lagi kekurangan didalamnya. Lalu apakah mungkin Islam membutuhkan tambahan lagi ? Salah seorang sahabat Rasulullah, yaitu Ibnu 'Abbas -semoga Allah meridhoinya- berkata,” Dialah Islam yang telah Allah kabarkan kepada nabiNya dan kepada seluruh orang-orang mukmin bahwa Dia telah menyempurnakan keimanan untuk mereka. Jadi, mereka tidak butuh lagi dengan tambahan. Selama-lamanya. Allah telah menyempurnakan Islam, sehingga tak ada lagi kekurangan selama-lamanya. Dan Allah telah ridho dengan Islam, maka tak ada lagi kemurkaanNya selama-lamanya.” (lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Sebagai contoh sederhana; Jika seorang ibu telah memasak makanan yang begitu lezat dan nikmat. Bumbunya pas. Tidak terlalu asin, juga tidak terlalu manis. Pokoknya pas. Lalu tiba-tiba masakan itu malah ditambah dengan garam lagi. Maka apa yang akan terjadi ?!! Justru makanan itu yang tadinya lezat berubah jadi amburadul, tidak karuan rasanya. Kesempurnaan rasa makanan tersebut justru menjadi cacat gara-gara tambahan garam tadi.
Nah, begitu pula agama ini. Bahkan agama ini jauh lebih layak untuk dijaga kesempurnaannya dari sekedar masakan.
Salah seorang sahabat yang mulia, 'Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu berkata,” Ikutilah (Al-Qur'an dan As-Sunnah) dan jangan mengada-adakan sesuatu yang baru. Karena sesungguhnya kalian telah tercukupi (dengan agama ini).”(Lihat Lammuddurril Mantsur Minal Qoulil Ma'tsur).


Beberapa Contoh Kesempurnaan Islam.
Kesempurnaan Islam mencakup segala sisi kehidupan manusia. Syariatnya sangat cocok untuk setiap zaman dan tempat. Semua kebaikan dari yang terkecil sampai yang terbesar telah dijelaskan olehnya. Dan Islam juga telah mewanti-wanti umatnya dari beraneka bentuk keburukan agar dijauhi. Berikut ini sebagian contoh kesempurnaan Islam dalam kehidupan kita:
Islam Dan Aqidah/Keyakinan.
Islam hanya meyakini satu Tuhan yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dialah yang telah menciptakan langit dan bumi beserta segala yang ada didalamnya. Dialah pengatur alam semesta, pemilik tunggal jagad raya ini. Jadi dialah yang berhak untuk disembah oleh sekalian makhluk. Tak ada lagi sekutu bagiNya. Tidak nabi,tidak juga malaikat. Allah berfirman yang artinya,” Sesungguhnya Tuhan kalian adalah yang menciptakan langit dan bumi.” [Al-A'rof : 45]. Juga Allah berfirman,” Wahai sekalian manusia sembahlah Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.”[Al-Baqoroh : 21].
Adapun agama yang lain maka mereka memiliki “tuhan-tuhan” yang begitu banyak. Yang sebenarnya ini justru membingungkan mereka sendiri.

Islam Dan Kehidupan Bermasyarakat.
Diantara ajaran Islam dalam rangka menjaga hubungan bermasyarakat adalah anjuran kepada umatnya untuk saling tolong-menolong, Allah berfirman,” Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [Al-Maidah : 5]. Islam juga melarang kita untuk mengganggu orang lain, Rasulullah bersabda yang artinya,” Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguan-gangguannya.” [HR. Muslim]. Dan menganjurkan kita untuk selalu tersenyum nan ramah bila bertemu dengan orang lain, Rasulullah bersabda yang artinya,” Janganlah engkau meremehkan kebaikan sekecil apapun, meski dengan wajah yang berseri-seri saat berpapasan dengan saudaramu.” [HR. Muslim]

Islam Dan Kehidupan Ekonomi.
Diantara yang berhubungan dengan hal ini yaitu Islam mensyariatkan zakat agar orang-orang yang tak mampu juga dapat merasakan bahagia. Islam juga tak menginginkan perputaran harta hanya terjadi dikalangan orang-orang kaya saja. Allah berfirman yang artinya,”Agar harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kalian.” [Al-Hasyr : 7]

Islam Dan Kehidupan Bernegara.
Dalam hal ini Allah telah memerintahkan kepada para pemimpin untuk berhukum secara adil, dimana Allah berfirman yang artinya,”Sungguh, Allah telah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaknya kamu tetapkan dengan adil.”[An-Nisa' : 58] . Dan bersamaan dengan itu pula Allah menyuruh rakyat untuk tunduk dan taat kepada pemerintah, bahkan Allah menggandengkannya dengan ketaatan kepadaNya dan RasulNya. Allah Ta'ala berfirman yang artinya,” Wahai orang-orang yang beriman ! Taatilah Allah dan RasulNya (Muhammad), serta taati Ulil Amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu.” [An-Nisa' : 59]. Jika setiap muslim, baik pemerintah maupun rakyat mau mempraktekkan ajaran ini, niscaya kehidupan bernegara kita jadi aman dan damai. Semoga negeri kita yang tercinta ini termasuk negeri yang senantiasa menjalankan ajaran Allah. Amin.

Islam Dan Ilmu Pengetahuan
Perhatian Islam dengan dunia pengetahuan bisa kita lihat dari wahyu pertama yang Allah Ta'ala turunkan kepada nabiNya, dimana Allah Ta'ala berfirman yang artinya,” Bacalah !” [Al-'Alaq : 5]. Ya, karena membaca adalah sarana utama untuk menambah wawasan pengetahuan kita. Dengan membaca segala hal yang tadinya tidak kita ketahui jadi kita ketahui. Apalagi dalam Islam kedudukan ilmu sangat dijunjung tinggi, bahkan Allah Ta'ala mengangkat derajat orang-orang yang berilmu dalam firmannya,” Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” [Al-Mujadilah : 11]. Dalam sebuah hadits, Rasulullah menerangkan bahwa ilmu adalah jalan terbaik bagi yang menginginkan surga. Rasulullah bersabda yang artinya,” Barang siapa yang menempuh sebuah jalan untuk menuntut ilmu maka akan Allah mudahkan dia menempuh jalan menuju surga.” [HR. Abu Dawud dan Tirmidzi].

Islam dan Bidang Pendidikan.
Merupakan kesempurnaan Islam adalah perhatiannya terhadap masalah pendidikan. Banyak contoh dalam hal ini, diantaranya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat Luqman,” Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya,” Wahai anakku ! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang besar.” [Luqman : 14]. Selanjutnya Allah berfirman,” Luqman berkata,” wahai anakku ! Sungguh, jika ada perbuatan seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau dilangit atau dibumi, niscaya Allah akan memberinya balasan. Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan Maha Mengetahui.” [Luqman : 16]. Begitu juga sabda Rasululloh mengenai pentingnya mengajarkan sholat semenjak usia dini yang artinya,” Perhatikanlah anak-anak kalian agar menunaikan sholat ketika mereka berumur tujuh tahun.” [HR. Abu Dawud].

Islam dan Pola Hidup Sehat dan Bersih.
Islam mengajarkan tata cara membersihkan diri seperti wudhu, mandi besar, istinja' (cebok), menyikat gigi, memotong kuku, dan lain-lain. Ada yang pernah bertanya kepada Salman Al-Farisi Radhiyallahu 'anhu,” Apakah nabimu telah mengajarkan segala sesuatu sampai urusan kamar kecil?!!” Salman pun menjawab,” Ya benar! Dia melarang kita menghadap kiblat ketika buang air kecil dan buang air besar, melarang kita agar tidak beristinja' dengan tangan kanan.” [HR. Muslim, dll]. Rasulullah bersabda yang artinya,”Sepuluh sunnah yang sejalan dengan fitroh manusia” dan menyebutkan diantaranya; memotog kuku, menyikat gigi, berkhitan, dan membersihkan jari-jemari.[HR. Muslim, Abu Dawud, dll]. Juga Rasulullah melarang kita agar tidak buang air kecil diair yang tergenang lalu mandi didalamnya [HR. Bukhari]. Dan Allah sangat mencintai orang-orang yang menyucikan diri,”Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertaubat, dan orang-orang yang menyucikan diri.” [Al-Baqarah : 222].
Dan masih banyak lagi hal-hal yang belum sempat tertuang dalam tulisan ini, yang apabila kita mau menelaahnya niscaya kita akan terkagum-kagum dengan syariat ini, dan takkan pernah bosan untuk membasahi lisan kita dengan pujian-pujian kepada Allah, Sang Pembuat Syariat. Dialah Yang Maha Sempurna lagi Maha Bijaksana.

Penutup
Demikianlah, betapa sempurnanya agama kita ini. Tanpa sedikitpun kekurangan didalamnya. Bahkan didalamnya terkandung banyak sekali pelajaran-pelajaran penting yang dapat menjadi solusi utama menghadapi berbagai persoalan hidup. Maka sudah semestinya kita berbangga dengannya. Bersyukurlah kepada Allah yang telah menciptakan kita sebagai pemeluk agama ini. Dan cara terbaik untuk mensyukuri nikmat yang agung ini adalah dengan makin mempertebal keimanan kita kepadaNya, menjalankan ketaatan dan beribadah kepadaNya dengan penuh keikhlasan serta ketundukan hati. Jangan lupa untuk selalu menjadikan Islam sebagai gaya hidup kita bersama. Akhir kata segala puji bagiNya Rabb Semesta Alam, Shalawat serta Salam senantiasa tercurah kepada teladan kita, nabi yang mulia Muhammad Shollallohu 'alaihi wa Sallam, kepada keluarganya dan segenap sahabatnya.


Abu Nu'aim Bin Syarief

BELAJAR SABAR





Semakin hari permasalahan hidup semakin memusingkan saja. Tak jarang banyak orang yang stres dan gila lantaran tak sanggup menghadapi setiap permasalahan tersebut. Pada saat-saat seperti inilah pertolongan Allah benar-benar sangat dibutuhkan. Lalu bagaimana cara meraih pertolongan tersebut ?!
Diantara cara jitu untuk meraih pertolongan Allah adalah dengan bersabar, Allah Ta'ala berfirman yang artinya,”Wahai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah bersama orang-orang yang sabar.
” [Al-Baqarah : 153].

Arti Sebuah Kesabaran
Banyak definisi yang dipaparkan para ulama tentang makna sabar. Imam Al-Junaid pernah ditanya tentang hal itu, dan beliau menjawab,”Kesabaran itu bagaikan kau menelan rasa pahit tanpa mengeluh sedikitpun.” Ada juga yang mengartikannya dengan “Menghadapi ujian dengan tetap menjaga adab kepada Allah.” Sebagian yang lain mengatakan,”Kesabaran adalah menjaga diri dari berlaku buruk, mencegah lisan dari mengeluh, dan memasung anggota badan untuk tidak menampar pipi dan merobek pakaian.” Walau terlihat berbeda namun secara umum makna sabar adalah sama, yaitu bahwa kesabaran adalah sebuah perangai yang luhur yang dapat mencegah pemiliknya dari hal-hal yang tidak pantas dilakukan. Dan kesabaran merupakan kekuatan jiwa yang akan mendatangkan kebaikan dalam segala urusan serta mengokohkannya.

Pembagian Sabar
Para ulama telah membagi kesabaran menjadi bermacam bentuk. Ini tidak lain agar umat lebih mudah memahaminya dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Berikut ini adalah pembagian kesabaran yang kami pilih:
1.Sabar Dalam Menjalankan Ibadah Kepada Allah.
Ada sebagian ibadah yang memang terasa berat dikerjakan sehingga membuat sebagian kita justru mengeluh dan menggerutu. Kita ambil contoh shalat subuh. Disaat sedang asiknya tidur bermimpi indah, tiba-tiba terdengar suara adzan yang mengganggu kenikmatan duniawi kita, dan memaksa kita terbangun menuju masjid. Contoh lainnya, ketika kita senang akan harta yang melimpah ruah, dikala itu pula kita diwajibkan menyisihkan sebagian harta kita untuk zakat. Dan masih banyak contoh lain yang kalau kita tidak bersabar dalam menjalankannya, maka perlu dipertanyakan kembali keimanan kita. Inilah gambaran sekilas tentang ibadah sebagaimana yang Allah Ta'ala kabarkan sendiri dalam firmanNya yang artinya,” Sungguh semuanya itu terasa berat kecuali bagi orang-orang yang tunduk.” [Al-Baqarah : 45].
Begitu pula bagi orang-orang yang berusaha menjadikan agama sebagai gaya hidupnya. Tidak jarang mereka mendapat cibiran, celaan, atau bahkan dikucilkan dan terusir dari masyarakatnya. Mereka dianggap kuno, ketinggalan zaman, fanatik, dan lain-lain. Maka disaat seperti ini kesabaran pun dibutuhkan secara extra, bukan malah melawan atau 'beradu urat' dengan masyarakat. Oleh karena itu, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa Salam pernah bersabda yang artinya,”Akan datang suatu zaman, dimana orang-orang yang bersabar diatas agamanya bagaikan menggenggam bara api.” [HR. Tirmidzy].
2.Sabar Dalam Menghadapi Hal-Hal Yang Dilarang Syari'at.
Hampir segala hal yang haram lagi terlarang nampak begitu indah dimata dan menggoda iman. Sebagai contohnya adalah zina dan riba. Didalam keduanya terdapat berjuta kelezatan yang tak dapat dipungkiri. Kenikmatan dalam zina, dan keuntungan yang besar dalam riba. Namun kita mesti bersabar, menahan diri jangan sampai tergoda lalu terjerumus kedalam jurangnya. Beginilah kemaksiatan, manusia mencintainya padahal dibaliknya terdapat beragam keburukan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya,”Boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah Maha Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah : 216]
3.Sabar Dalam Menerima Takdir Allah.
Hidup tidak selamanya indah. Kadang kita dihadapkan dengan hal-hal yang kurang menyenangkan seperti kemiskinan, bangkrut, gagal panen, ditipu orang, kecopetan, matinya orang yang kita cintai, dan sebagainya. Inilah hidup, seperti kata orang 'bagai roda yang berputar', Allah sendiri pun berfirman yang artinya,” Dan hari-hari itu (kejayaan dan kehancuran) kami putarkan silih berganti ditengah-tengah manusia (agar menjadi pelajaran bagi mereka).” [Ali Imran : 140].
Takdir Allah memang tak dapat ditebak, namun kesabaran manusia sangat dituntut.

Allah Berbicara Tentang Keistimewaan Kesabaran
Sesungguhnya Allah Ta'ala telah menjadikan kesabaran ini bagaikan pasukan berkuda yang tak pernah tumbang, pedang yang tak pernah karat, tentara yang senantiasa menang tak terkalahkan, dan benteng kokoh yang tak pernah runtuh.
Kesabaran seorang hamba dan pertolongan dari Allah layaknya saudara kembar. Allah 'Azza wa Jalla telah memuji orang-orang yang sabar dalam kitabNya (Al-Qur'an), dan mengabarkan bahwa diriNya akan melimpahkan pahala bagi mereka tanpa batas, serta menyatakan bahwa diriNya senantiasa bersama mereka dengan hidayahNya, pertolonganNya yang besar, dan kemenanganNya yang nyata. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya,” Bersabarlah ! Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” [Al-Anfal : 46].
Orang-orang yang bersabar akan meraih segala kebaikan dunia-akhirat, juga kenikmatan lahir-batin. Allah Ta'ala akan menjadikan kepemimpinan dalam agama tergantung dari kesabaran dan keyakinan pelakunya, Allah Ta'ala berfirman yang artinya,”Dan Kami jadikan diantara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka mau bersabar (diatas kebenaran). Dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.” [As-Sajadah :24].
Allah Ta'ala memberitahukan bahwa dengan kesabaran dan ketakwaan, tipu daya musuh tidak akan mempan walaupun sang musuh memiliki kekuasaan sekalipun. Allah 'Azza wa Jalla berfirman yang artinya,”Jika kamu bersabar dan bertakwa, tipu daya mereka tidak akan membahayakanmu sedikitpun. Sesungguhnya Allah Maha Meliputi segala apa yang mereka kerjakan.” [Ali Imran : 120].
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengaitkan keberuntungan dengan kesabaran dan ketakwaan. Allah berfirman yang artinya,”Wahai orang-orang yang beriman. Bersabarlah ! Dan kuatkan kesabaran kalian ! Tetaplah bersiap-siaga (diperbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” [Ali Imran : 200].
Rasa cinta Allah adalah untuk orang yang bersabar, inilah pendorong terbesar bagi orang-orang yang ingin dicintai Allah. Allah Ta'ala berfirman yang artinya,” Dan Allah mencintai orang-orang yang bersabar.” [Ali Imran : 146].
Allah memberikan kabar gembira kepada mereka dengan tiga hal, yang kesemuanya adalah kebaikan yang diperebutkan oleh penduduk dunia. Allah Jalla Jalaluhu berfirman yang artinya,”Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu mereka yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata,”inna lillahi wa inna ilaihi raji'un”(sesungguhnya kami milik Allah dan kepadaNyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan,dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” [Al-Baqarah : 155-157].
Hanyalah orang-orang yang bersabar dan bersyukur yang dapat mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah. Allah berfirman yang artinya,”Sungguh pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap penyabar dan banyak bersyukur.” [Ibrahim : 5, Luqman : 31, Saba' : 19, dan Asy-Syura' : 33].


Kesabaran Ada Batasnya (?!)
Seringkali terdengar dari kebanyakan masyarakat kita berkata,”Sabar itu ada batasnya, Mas !”. Hal ini biasanya terjadi ketika kesabaran yang ada pada dirinya mulai luntur , serta tergambar dari raut wajahnya yang penuh dengan rasa jengkel yang tertahan lama. Apa mau dikata, lha wong sabar itu memang bagai menelan rasa pahit kok, bagai menggenggam bara api pula, jadi hanya penyabar sejati saja yang dapat bertahan dan berjuang mati-matian.
Kalau mau diteliti lebih lanjut, tentu ungkapan seperti ini tidaklah benar. Ini disebabkan karena sabar adalah ibadah, dan apabila Allah telah memerintahkan suatu ibadah kepada hambaNya, maka perintah tersebut akan terus abadi sampai kematian menjemput sang hamba tersebut. Tidak hanya sebatas sekali- dua kali, sebulan- dua bulan, setahun, sepuluh tahun. Allah Ta'ala berfirman yang artinya,”Sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu Al-Yakin (ajal).” [Al-Hijr : 99]. Terlebih dalam sebuah ayat yang telah disebutkan diatas (Ali Imran : 200), Allah Ta'ala seakan menyemangati orang-orang yang beriman untuk terus bersabar, bukan malah makin loyo. Perhatikanlah ayat ini yang artinya,”Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah ! Dan kuatkan kesabaran kalian !”. Salah seorang ahli tafsir, Syaikh 'Abdurrahman As-Sa'di berkata tentang ayat ini,”Menguatkan kesabaran adalah dengan membiasakannya dan berusaha terus menerus diatasnya.”

Bagaimana Cara Bersabar ?!
Bersabar adalah sesuatu yang gampang-gampang susah. Gampang karena itu adalah perintah dari Allah, dan tidak mungkin Allah Ta'ala memberatkan hambaNya dengan sesuatu yang diluar kemampuannya. Allah Ta'ala berfirman yang artinya,”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” [Al-Baqarah : 286]. Namun bersabar akan menjadi susah manakala halangan dan rintangan terus saja ada dihadapan kita. Berikut ini merupakan panduan singkat untuk belajar bersabar.
Berdoa kepada Alloh agar senantiasa membimbing dan menolong kita untuk menjadi orang yang sabar. Janganlah sombong dan menganggap diri kita mampu menjalani hidup ini tanpa bimbingan dan pertolonganNya. Seperkasa apapun seorang manusia, tetap dirinya hanyalah makhluk yang lemah tak berdaya.
Hadirilah kajian-kajian ilmu syar'i yang disana kita akan mendapat pencerahan hati, yang sangat baik untuk kehidupan kita dunia-akhirat.
Bertemanlah dengan orang-orang yang memegang kuat agamanya, dan jauhi teman-teman yang buruk. Karena prilaku seseorang dapat dipengaruhi dari bagaimana dia berteman.
Bacalah sejarah para nabi dan rasul dalam mengarungi kehidupan mereka yang penuh dengan tantangan dan cobaan.
Ingatlah selalu akan janji-janji Allah untuk orang-orang yang sabar dan kuatkanlah tekadmu untuk meraihnya.

Sebagai penutup kami bawakan sebuah sabda Rasulullah yang mulia yang artinya,” Barangsiapa yang belajar bersabar, maka Allah akan jadikan dia orang yang benar-benar bisa bersabar.” [HR. Bukhari-Muslim].
Wallahul Musta'an, Wallahu A'lam bish Shawab.


Jum'at Pagi di Jember, 16 Januari 2009
Yang sangat mengharapkan ampunanNya,
Abu Nu'aim Bin Syarief